Menyambung puzzle ingatan workshop Tere Liye kemarin. Kesimpulan dasar dari semua penjabarannya hanya satu. Yaitu terus latihan menulis. Tere Liye sama sekali tidak menyinggung soal halangan dalam menulis, misalnya waktu yang sempit untuk menulis, tidak tersedia sarana seperti laptop dll. Dia menceritakan kisah masa kecilnya yang hidup dalam keterbatasan. Di kampungnya sangat terpencil, anak-anak biasa mendengarkan dongeng. Kebiasaan itu salah satu yang memotivasinya untuk bisa jadi penulis.
Malah anak jaman now lebih sering menulis dari anak jadul. Lihat saja di akun sosial media. Berapa kali remaja membuat status, komentar, sharing dan membaca lewat internet. Harusnya tulisan-tulisan itu bisa lebih terarah dan jadi sebuah buku, daripada membuat sepotong kalimat yang kadang tidak ada artinya. Malah kebanyakan sosial media dijadikan alat untuk saling mencela, sayang sekali, kan?
Saat salah seorang peserta bertanya tentang penerbit indie dan mayor, TL tidak memenangkan salah satunya. Kembali pada niat penulis, pengen sekedar punya buku atau pengen tulisannya dibaca banyak orang? Kalau sekedar punya buku, bayar sendiri, cetak sendiri, jadi deh. Tapi kalau penerbit mayor, memang susah ditembus karena harus melewati beberapa pemeriksaan. Tapi kesabaran dari melewati proses itu pasti berbuah manis. Kalaupun akhirnya naskah ditolak, tinggal cari penerbit lain. Bahkan sekelas TL pun naskahnya dulu juga sering ditolak. *ini bukan bermaksud mematahkan semangat, justru belajarlah dari gigihnya TL.

Tips menembus mayor ala TL:
- Pastikan naskah sudah selesai. Kesannya lucu ya, padahal banyak yang berniat menerbitkan buku. Pas ditanya naskahnya mana, jawabannya “baru akan ditulis.”
- Riset penerbit yang cocok. Cara ini tentu saja harus mengenal model tulisan yang sering diterbitkan. Beli bukunya, baca. Atau bisa saja mampir ke perpustakaan. Apapun usaha untuk lebih mengenal.
- Tunggu kabar sambil tulis naskah baru. Kebanyakan penulis menghabiskan waktu dengan menunggu kabar. Iya kalau diterima. Kalau ditolak? Patah hati dan ngambek nulis. Cara produktif TL adalah menghabiskan waktu banyak untuk riset, dan menulis dalam waktu sebentar. Rata-rata novelnya terbit 2 buah dalam setahun.
TL sempat menyinggung soal penulis populer dari Sumbar. Dulu banyak sekali, Buya Hamka dsb. Sekarang yang terkenal cuma A. Fuadi. Lainnya mana? Iya sih. Atau aku yang nggak kenal sastrawan Sumbar? Entahlah.
TL bilang, dia sehari menulis 1000 kata. Rutin tapi ya. Setiap bertemu orang, dia lebih banyak mendengar dan menyimpan info baru di kepalanya. Nanti info itu bisa jadi ide dalam cerita-ceritanya. Bahkan sehabis workshop, TL langsung sandang ranselnya dan katanya mau jalan-jalan. Jadi dia nggak punya tim dong? Mungkin nggak. Soalnya dia sering jalan sendiri. Pernah ketemu satu orang yang lagi nangis baca novelnya di pesawat, di sebelah tempat duduknya. Pernah dikomentarin ceritanya jelek waktu nonton filmnya di warung. Mereka nggak tahu penulisanya ada di sana. TL pun nggak ngaku. Aduuuh… Humble banget.
Makanya TL sering posting ketidaksukaannya pada orang yang pamer. Dia sebel qoute nya dipakai buat pamer foto lagi liburan. TL bukannya nggak pernah ke sana kemari, tapi dia lebih sering menyimpan kenangan di kepalanya. Soal orang percaya atau tidak nggak penting.
Makanya dalam setiap workshop, TL tidak mengizinkan foto bersamanya. Tapi kalau mau tanda tangan buku, dia layani. Aneh memang, tapi aku suka gayanya.

Pelajaran yang bisa ditiru dari bertemu TL.
- Banyak latihan menulis kalau pengen jadi penulis beneran.
- Jangan suka pamer.
- Jadilah orang yang bermanfaat. Sampaikan pesan abadi lewat tulisan.
Baiklah, mari kita menulis. 🙂