Penerbit Republika mengadakan workshop kepenulisan bersama Tere Liye di kampus se Indonesia. Workshop ini gratis. Khusus Sumatera Barat, workshop diadakan di kampus STIKES Fort De Kock Bukittinggi. Cuma 20 menit dari rumahku. Langsung daftar dong, gratis ini. #ups.
Sampai di lokasi, nggak nunggu terlalu lama Tere Liye datang. Penampilannya sederhana, casual ditambah topi kupluk di kepalanya. Begitu TL muncul, hampir semua peserta teriak histeris, jepret-jepret, termasuk aku. *tunjuk hidung. TL taroh ranselnya, tanpa salam langsung ngomong “Saya di sini bukan kapasitas sebagai selebritis ya. Jadi yang rekam-rekam tolong menjauh dari radius 5 meter. Tidak ada foto bersama saya, kalian ke sini mau belajar apa mau foto-foto?”
Nggak pakai basa basi, semua peserta disuruh keluarkan kertas, catet tips menulis darinya. Hanya 5 poin penting, tapi penjabarannya panjaaaang banget.
TIPS MENULIS YANG BAIK.
1. Problem menemukan ide.
Ini masalah umum bagi penulis pemula. TL bilang semua bisa jadi ide. Hanya saja kebanyakan kita menulis pada sudut pandang orang kepanyakan. Misalnya saat TL menyuruh mengarang satu paragraf tengtang HITAM. Rata-rata peserta menulis tentang harapan yang pupus, galau, warna dsb. TL memberi contoh satu paragraf yang unik, hasil karya peserta workshop di Bandung (kalau nggak salah).
Hitam selalu datang terlambat. Mekunibiji mulai kesal. Akhirnya mekunibiji meninggalkan hitam. Sejak saat itulah pelangi tidak ada warna hitam. (aku nggak ingat paragraf aslinya)
Sudut pandang yang jauh berbeda kan? Nggak semua orang memikirkannya kan? Kabarnya ini hasil karya penulis yang masih SMP. Bisa jadi dia suka telat, lalu teman-temannya meninggalkannya.
Topik tulisan bisa apa saja, tapi penulis yang baik selalu menemukan sudut pandang yang special. *Tere Liye
2. Apakah menulis membutuhkan amunisi, riset, cari bahan?
Banget! Ibarat harus mengisi gelas, nggak bisa dong kalau tekonya kosong. Jangankan ngucur, netes aja nggak. Jadi kalau mau jadi penulis, kamu harus:
- rajin membaca
- Rajin jalan-jalan
- Bertemu banyak orang
- Bertani ide
Penulis yang baik selalu punya amunisi. Tidak punya amunisi, tidak bisa menulis. *Tere Liye
3. Apakah itu tulisan yang jelek atau bagus?
Di bagian ini, aku merasa tersindir sebagai mentor yang kurang baik. Saat aku mengoreksi naskah kelas menulis, aku sering menemukan celah yang buruk pada tulisan seseorang. Padahal TL bilang, bagus tidaknya suatu tulisan, hanyalah soal selera. Kita hanya harus berjuang untuk menemukan penerbit yang pas. Jangan sampai kirim naskah teenlit ke penerbit buku pelajaran.
Tidak ada tulisan yang buruk, yang ada tulisan yang relevan atau tidak. *Tere Liye
4. Gaya bahasa adalah kebiasaan, kalimat pertama adalah pekerjaan mudah, penyelesaian lebih gampang lagi. Percayalah!
Sering kan, niat mau nulis tapi bengong di depan laptop? Kalau tidak bisa membuat kalimat pertama, tulis saja “aku mau nulis apa ya? Ah, ini aja deh. bla.. bla.. bla..” bahkan seorang TL saat sedang stuck, nulis isi hati yang kadang ngawur nggak ada hubungan dengan lanjutan novelnya. Tapi dia nulis terus, nanti bagian omelan yang masuk naskah itu tinggal dihapus saja saat ide mulai mengalir deras.
5. Mulailah dari tulisan yang kecil, pendek tapi bertenaga, sederhana dan bermanfaat.
Ibarat ngajakin orang lari, jangan langsung lomba lari. Bisa pingsan dia. Biarkan dia berjuang sesuai kemampuannya. Begitu juga dengan menulis. Jangan bandingkan TL dengan kita yang nulis statuspun masih bolong-bolong.
Pada akhirnya, perbedaan besar antara penulis yang baik ada di latihan, latihan dan latihan. *Tere Liye
Pada sesi tanya jawab, aku nggak mencatat sama sekali. Tapi ada beberapa poin yang masih kuingat.
1. Pemilihan judul penting.
Novel Hafalan Shalat Delisa dulu salah taruh di samping buku tuntunan shalat. Saat TL main ke toko buku, ada pengunjung yang berkomentar pada temannya. “Bro, yang gua tahu shalat itu hanya shalat wajib, istikharah, tahajud dll. Baru kali ini gua lihat ada shalat yang namanya Delisa. Ini bid’ah, Bro.” (aku ngikik, tapi bener juga)
Pada novel Rindu, yang penjualannya paling banyak juga karena judul dan blurb yang menarik. Padahal buku itu bercerita tentang perjalanan ibadah haji. Tapi benar, aku beli bukunya jadi banyak tahu perjuangan orang-orang Indonesia zaman dulu. Beratnya berhaji dengan kapal sampai ke Mekah.
2. No Baper
Buat TL, nggak penting penjualan buku. Dia senang karyanya dibaca, pesannya nyampe. Pembaca buku terbaiknya adalah ibunya. Dia tidak keberatan saat anak pesantren satu asrama beli buku sebiji, dibaca bergiliran. Bahkan dengan di filmkan beberapa karyanya (yang terbaru sedang dibuat film Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin) dia senang, karena tidak semua orang Indonesia senang membaca. Tapi lewat film, dia bisa menyampaikan pesan ke orang yang lebih banyak.
3. Terus berlatih.
TL pernah gombalin ibunya, masakan ibunya enak banget, sampai dia terharu. Eeeh, malah dimarahin. Disuruh makan aja. Berkali-kali nanya resep rahasia ibu, ibunya jawab, kalau masak ya masak aja. Ibunya nggak pakai buku resep, nggak pakai gelas takar, timbangan dan lain-lain. Dia terlatih memasak berkali-kali sampai masakannya semakin enak dan disukai keluarga. Jadi, apa bedanya dengan menulis?
Segini dulu ya, aku makan malam dulu. Laper. Nanti kalau ingat yang lain aku tambahin.
Satu tanggapan untuk “WORKSHOP KEPENULISAN BERSAMA TERE LIYE”