Curhat Emak

Pengalamanku Hamil Di Luar Kandungan

Aku butuh waktu untuk menetralkan hati menulis ini. Karena perasaanku kacau, baper, sedih dll campur jadi satu. Akhir Oktober lalu aku sering merasakan pusing, dingin dan gampang ngantuk. Bahkan saat mengajarpun aku sempat tertidur sambil duduk. Aku heran, nggak biasanya aku begini. Ditambah lagi sehabis kerja berat seperti nyuci 2 ember, biasanya aku sanggup langsung angkat dan jemur. Sekarang aku jeda dulu, badan rasanya gemetaran habis menyelesaikan 1 pekerjaan.

Aku merasa ada yang berubah dari badanku. Saat aku cek aku sudah telat haid, langsung aku beli tespek 2 biji dan mengetes hari itu juga. Mungkin karena terlalu tergesa-gesa, aku nggak nunggu pagi dulu, hasilnya ya negatif. Tak lama, coba lagi satu, negatif lagi. Tapi aku ada feeling ada yang berubah. Aku menunggu apakah haidku telat atau mungkin kadar hcgnya belum terlalu tinggi sehingga tidak terdeteksi oleh tespek. Mana bukan air seni pagi, wajar hasilnya negatif.

Keesokan hari aku masih belum haid. Aku beli tespek lagi dan mulai hati-hati banget bawa motor. Kali ini aku sabar, nunggu keesokan paginya baru dites. Benar saja, ada dua garis di sana. Haru, kaget, seneng, bingung campur jadi satu. Nurul sudah 8 tahun, dan aku tidak pernah menunda kehamilan. Baru sekarang dikasih. Di saat umur menjelang 40 tahun pula. Alhamdulillah ala kulli haal.

Langsung kabari suami, dia kaget ga percaya. Tapi mulai wanti-wanti aku nggak boleh kerja berat. Urusan nyuci dia yang pegang. Ya, ini rezeki tak terduga. Sekarang saatnya menjaga amanah ini agar tumbuh sehat. Tapi hal ini belum kuberitahu sama Nurul. Dia memang sudah lama pengen punya adik, tapi belum dapat. Aku mau memastikan dulu lewat usg, rencananya mau kasih kejutan dengan foto bayi di USG.

Minggu kelima kehamilan aku baru mengunjungi dokter. Sengaja, karena dulu waktu hamil Nurul, aku USG dan belum terlihat bayinya. Aku kecewa dan tak mau terulang lagi. Tapi kali ini aku ganti dokter, ini kesalahan pertama. Ternyata dokternya buru-buru memeriksa, dan tidak menemukan apa-apa di rahimku. Malah nanya, “Mana sih, mana sih, kok nggak kelihatan? ”

Mana kutahu, Bambang, kan aku bukan dokternya. Aku jadi sebel. Aku mulai ada feeling nggak enak. Apakah hamilku bermasalah? Iya sih, beberapa hari ini aku merasakan perutku kencang banget, kaya kram gitu. Tapi aku cuma pakai minyak gosok, karena kupikir faktor kembung yang biasa dialami ibu hamil. Kupikir karena umur, mungkin kehamilan ini terasa lebih berat. Aku dikasih vitamin kehamilan dan obat mual sama dokternya. Disuruh istirahat, dan aku minta izin sama kepsek buat nggak ngajar dulu.

Seminggu kemudian, aku merasa sakit di perut. Seperti kontraksi gitu. Kaya mau mens tapi nggak ada yang keluar. Ayahku bilang aku terlihat pucat. Iya sih, aku sempat pusing-pusing dan hampir jatuh. Tapi kupikir itu normal, karena aku hamil di usia menjelang tua. Akhirnya aku tiduran seharian, perut rasanya gendut banget. Aku oles minyak lagi.

Tengah malam aku pengen BAB. Aku heran, kenapa pipisnya nggak keluar ya. Sakiiiit banget waktu BAB. Aku tunggu beberapa jam kemudian, sampai akhirnya aku merasa ini tidak beres. Aku harus ke IGD. Mana suami lagi nggak di rumah, jadinya aku ketok-ketok pintu kamar adikku minta diantar ke IGD. Ibuku ikut, dan aku tinggal Nurul yang sedang tidur nyenyak sama Ayah.

Rumah sakit nggak sembarangan terima pasien. Aku sempat ditolak di salah satu RS. Katanya di sini nggak ada dokter kebidanan. Akhirnya pindah ke RS swasta tempat Nurul dilahirkan dulu. Syukurlah badanku nggak panas, nggak batuk dan gejala covid lainnya, jadi aku bisa segera ditangani. Tapi aku cuma disuruh pipis. Disuruh minum banyak. Kupikir bakal dibantu pake kateter karena dari rumah aku sudah kesakitan. Ternyata cuma dibiarkan, katanya nanti bakal keluar sendiri pipisnya. Aku dikasi tabung untuk mengetes air seni.

Sakit perutku makin menjadi. Baring salah, miring salah. Akhirnya setelah beberapa jam, aku dipasangi kateter. Lega rasanya, sakit perutku berkurang. Urinku langsung diperiksa di labor. Aku istirahat di ruang IGD sambil berdoa anakku baik-baik saja.

Beberapa jam kemudian, dokternya datang dan menjelaskan kalau kandunganku bermasalah. Bisa dilihat dari tes urin. Aku hamil di luar kandungan, harus operasi pagi itu juga. Kaget dong, sedih banget pasti. Untung aku belum kasih tahu Nurul kalau dia bakal punya adik. Keluarga support aku untuk operasi. Memang hanya itu jalannya. Aku langsung hubungi suami agar segera pulang.

Aku takut kalau sehabis operasi aku tak bangun lagi. Aku takut meninggalkan Nurul, dan belum siap mati. Ibuku terus mengulang-ulang agar aku ingat Allah.

Di ruang bersalin aku diperiksa. Memang dipastikan hamil di luar kandungan dan segera operasi. Aku minta doa pada semua perawat, bidan, bahkan OB yang membersihkan ruangan. Aku takut sekali. Tapi aku harus siap. Hanya modal mengingat Allah. Akupun pasrah.

Sebelum operasi dimulai, aku dan tim dokter berdoa dulu. Airmataku menetes. Aku ikhlas dan pasrah. Mataku menjauh dari lampu operasi. Aku takut melihat perutku dibedah. Ada bayangan seperti cermin di sana. Tepat di perutku. Terlihat tangan-tangan dokter memakai sarung tangan. Juga kain hijau yang menutupi tubuhku. Aku mengalihkan pandangan, hanya melihat ke kiri dan ke kanan, atau melihat kain penutup antara aku dan tim dokter.

Dug dug dug… Jantungku berdetak kencang seperti mau loncat dari dadaku. Aku dengar suara itu dari mesin. Ingat Allah. Ingat Allah. Setelah jantungnya berdetak kencang sekali, aku merasa melayang. Kulihat dokter anastesi menghampiri temannya, berbisik. Aku pasrah, mungkinkah ini akhir jalanku? Kelopak mata bawahku diperiksa. Lalu salah satu dokter menyuntikkan sesuatu ke infusku. Lalu aku mulai merasa segar dan detak jantungku mulai stabil.

Aku operasi seperti melahirkan dulu. Masih bisa dengar suara dokter. Masih sadar sesadar-sadarnya. Hanya separo badanku dari perut sampai kaki yang kebal rasa. Ruangan operasinya dingin, dan aku menggigil selama proses operasi sampai gigiku gemeletuk.

“Dingin, ” Keluhku

“Sabar, bu. Nanti habis tambah darah badan ibu akan membaik. Saat ini ibu pucat karena banyak darah yang keluar,” Kata dokter anastesi yang siap siaga di bagian kepalaku.

Dokter kandungan dan beberapa asistennya terus membersihkan rongga perutku. Proses operasi dimulai dari jam 9.15-10.15 pagi (12 Nov 2020). Aku mengalami pendaraham dalam rongga perut, karena itu aku merasa pusing dan lemas. Setelah operasi selesai, aku dibawa ke ruang pemulihan. Tak lupa kuucapkan terima kasih pada semua tim dokter yang sudah membantuku.

Di ruang pemulihan, aku dibiarkan sendiri. Diberi selimut tebal sambil menunggu darah. Aku masih menggigil. Dokter bilang mukaku memang pucat, tapi nanti badan akan hangat saat darah dimasukkan. Aku disuruh tidur, tapi mataku tak mau terpejam. Padahal 2 operasi yang sudah kulewati sebelumnya, aku sadar lalu betul-betul tidur bahkan sebelum operasi berakhir.

Aku berterima kasih pada Allah masih diberi kesempatan hidup. Masih bisa minta ampun atas dosa-dosaku. Masih diberi kesempatan bertemu anakku. Tiba-tiba aku ingat Nurul. Apa yang harus kujelaskan padanya? Aku sakit apa? Jujur saja bilang kalau dia mau punya adik tapi belum rezeki? Seketika mataku memanas mengingat janin yang baru berusia 6 minggu yang sempat sangat kujaga. Airmataku mengalir deras. Sedih dan bersyukur.

Saat perawat datang membawa darah, kuhapus airmataku. Benar saja, badanku mulai hangat begitu darah dimasukkan. Aku menikmati setiap tetesan darah yang menetes. Berterimakasih pada siapapun yang sudah menyelamatkanku lewat donor darah. Ada 4 kantong yang kubutuhkan. Hari itu hidupku penuh terima kasih. Dibalik musibah yang menimpaku, banyak orang-orang yang peduli padaku.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s