Selama dirawat di RS, aku merasa tenang karena tidak ada jam bezuk bagi pasien. Aku bisa betul-betul istirahat. Aku hanya berdua dengan suamiku. Dia yang membantu semua kebutuhanku. Menyuapi, mengangkat tubuhku sebelum ke kamar mandi, dan menyiapkan segala keperluanku.
Pernah hari kedua habis operasi, aku merasa sangat mengantuk. Saat mengobrol dengan suami, aku tertidur. Saat shalat (habis operasi belum ada nifas) aku tertidur. Aku pikir ada gempa, karena aku merasa goyang-goyang. Ternyata HBku rendah. Lebih rendah dari saat operasi. Harus tambah darah lagi. Suami dan adikku sibuk mencari donor sampai tengah malam. Saat itu stok PMI habis. Suamiku memaksakan diri mendonorkan darahnya. Padahal dia bertugas menjagaku. Petugas PMI tidak mau, karena suamiku habis begadang dan darahnya tidak memenuhi syarat untuk didonorkan.
Akhirnya pukul 1 malam darah sudah ada dan aku transfusi lagi. Setelah itu, baru aku merasa lebih baik. Ternyata kondisiku masih naik turun. Padahal Nurul sudah berharap aku segera pulang.
4 hari di rumah sakit, aku boleh pulang. Seneng dong. Ketemu anak lagi. Nurul sangat menjagaku, dia nggak mau tidur denganku dengan alasan takut menyakiti perutku. Kan kalau tidur tidak sadar, nanti bunda ketendang, katanya. Dia juga suka mengusir sepupunya yang mendekatiku. “Awas perut bunda, ” Katanya. Sungguh anak yang manis.
Saat aku sudah pulang, mulai berdatangan tamu ke rumah. Dan aku mulai merasa lelah. Sebetulnya aku senang dengan kehadiran tetangga, teman kuliah, saudara dan teman-teman kerjaku. Tapi beberapa pertanyaan membuatku merasa bersalah. Hilang rasa percaya diriku yang sudah susah payah kupupuk dari rumah sakit. Pertanyaan-pertanyaan yang bernada menyalahkan, seperti kandungamu lemah? Kok harus operasi sih? Dikuret aja. Oh, hamil anggur?
Seperti siaran ulang aku menjelaskan bahwa hamil anggur dan hamil luar kandungan itu beda.
Hamil anggur tidak ada janin. Hamil di luar kandungan ada janin, tapi bukan di rahim.
Hamil anggur bisa luruh lewat bawah. Hamil luar kandungan, pendarahan di rongga perut. Jalannya memang harus operasi buka perut.
Kenapa bisa hamil di luar kandungan? Aduuuh, ini pertanyaan sulit. Dokterpun tak bisa memastikan penyebabnya. Aku merasa dihakimi dengan kandungan lemah, terlalu tua untuk hamil dll. Saat itu aku lelah dan penuh air mata. Padahal aku sedang mengimani takdir, ini yang terbaik untukku. Dokter sudah berusaha yang terbaik, menyelamatkan nyawa lebih penting.

Pantas saja banyak emak-emak baperan ya. Kondisiku sama seperti habis lahiran. Sudah ada nifas, faktor hormon bikin baperan, menerima hujatan pula dari orang-orang terdekat. Belum lagi kepo dengan biaya RS karena swasta. Aduuuh. Nyawa tak bisa ditukar dengan harta. Berapapun uang yang sudah keluar, aku tak memikirkan lagi.
Ada teman yang menghujat, ada pula teman yang menguatkan. Aku disuruh sediakan cabe buat nyambel mulut-mulut pedas. Disuruh banyak diam nggak usah bales. Pokoknya aku menikmati setiap perubahan drastis yang butuh energi lebih menghadapinya.
Sekarang aku mulai stabil, masih harus kontrol ke dokter sekali lagi. Mulai sehat pikiran nggak baper lagi. Tidak terlalu susah bergerak, insyaallah hanya menunggu pemulihan sambil berpikir positif.
Kepo boleh, banyak tanya boleh, tapi kita harus menganggap diri sama dengan kondisi si sakit. Tanyalah yang membuat hatinya terhibur. Bukan yang menbuatnya semakin sakit.