Dulu waktu masih memakai seragam putih abu, aku mulai ngefans artis asal Jogja ini. Dengan boomingnya lagu DAN, aku ganti idola dari Stinky menjadi SO7. Aku rajin mengikuti perkembangan mereka lewat media, waktu itu cuma modal TV dan majalah. Malah aku minta sepupuku yang di Jogja kirim foto personilnya, dan dapat foto Erros. Hahaha… Ingat kekonyolan jaman dulu, bikin aku malu sendiri.
Aku terus membeli kasetnya (mak, kamu lahir di jaman apa?), nabung dari uang sakuku. Semua album lengkap, sampai aku kuliah. Setelah tamat, aku merasa bukan anak muda lagi, dan meninggalkan kegilaan punya idola. Jadi ya biasa aja. Beberapa lagu hits aku hapal. Modal denger di radio seperti Yang Terlewatkan dsb. Tapi aku nggak beli CDnya.
Dan kemarin emak-emak angkatanku heboh di FB soal konser Sheila On 7 di Trans 7, aku jadi ikutan nyetel trans7. Tapi aku ga bisa liat, hiks. Parabolaku error. Mulanya cuek aja, tapi status teman-teman soal SO7 semua. Nggak kehilangan akal, aku streaming. Malah enak kalau gini, bisa nyambi bawa hp kemana-mana. Lanjutkan membaca “Belajar Dari Sheila On 7”
“Jangan nonton drakor lagi. Kalian tahu berapa waktu yang terbuang sia-sia untuk sesuatu yang tak ada manfaatnya?” Wida menegakkan kacamatanya yang melorot.
“Belum lagi uang yang kalian habiskan untuk memburu pernak-pernik di mall. Nggak sayang menguras tabungan untuk itu?” Wida menaikkan alis, lalu menghela napas berat sambil menggeleng-geleng.
Irra dan Husna hanya saling memandang sambil melirik Wida yang terus berceramah tentang efektifitas waktu. Ruri dan Kalya manggut-manggut. Tak tega membiarkan Wida yang mulai ditinggalkan teman sekelas satu persatu. Banyak yang memandang sinis pada Wida, tapi Wida terus ceramah seperti sedang kampanye. Di matanya drakor itu suatu kesalahan, dan harus ditinggalkan agar semua kembali normal. Tak sekali dua kali Bu Nurul mendapati muridnya yang ketiduran di kelas. Alasan apalagi kalau bukan begadang nonton drakor?
Semua menggilai drakor, Ruri selalu membawa hard disk untuk dibagikan ke teman sekelas. Hanya Wida yang tak tertarik. Hanya Wida yang tidak ngantuk di kelas. Walau nilainya tetap pas-pasan, tapi dia bangga bisa bersikap teguh, tak goyah dengan trend yang sedang berlangsung. Menurutnya, trend akan terus berganti, kita tak perlu harus mengikuti semuanya.
Wida tak pernah heboh dengan model baju ala Korea, atau segala menu Korea, atau kosmetik yang sedang booming di kelasnya. Dia bangga tetap memakai pakaian serba batik, menu tradisional dan kosmetik alami. Segala yang ditawarkan teman-teman selalu dia tolak. Alasan utama, tentu saja mahal. Wida si bendahara kelas, yang kelakuannya persis Paman Gober. Sekeping uang seribuan tak pernah luput dari perhatiannya. Makanya Bu Nurul mempercayakan keuangan kelas padanya.
***
“Aku ngantuk.” Keluh Kalya.
“Habis nonton drakor sih…” sahut Wida tenang.
“Setrikaanku banyak, ibu gosok lagi pulang kampung.” balas Kalya sambil melotot. Wida cengengesan, dia melanjutkan membaca novelnya.
Irra demam, sudah dua hari.
“Pasti karena drakor.” omel Wida.
Ruri, Husna dan Kalya memandang tajam pada Wida. Wida gelagapan, berusaha membuat senyum manis yang terlihat aneh.
“Kenapa sih, kamu nyalahin drakor mulu. Kalau nggak suka, ya diam.” sentak Kalya.
Wida tersenyum kecut.
***
Wida menghapus ingusnya yang menetes sejak pagi tadi dengan tisu. Sudah berulang kali dia bersin. Kalau saja sekarang tak ada ulangan, mungkin Wida lebih memilih meringkuk dalam selimutnya yang hangat.
“Kamu habis nonton drakor?” tanya Ruri heran. Tak biasanya Wida kurang fit seperti ini.
Wida menggeleng sambil terus bersin-bersin.
Irra lewat di meja Wida. “Hai, gimana film yang aku kasih kemarin? Kamu suka?” tanya Irra dengan wajah ceria.
Kening Ruri berkerut. “Drakor?” tanyanya tanpa suara.
“Bukan, India.” jawab Irra kencang.
Kompak Ruri, Husna dan Kalya membelalakkan mata. Wida yang selama ini ceramah soal efektifitas waktu dan uang, ternyata juga melakukan hal yang tak jauh berbeda dengan teman sekelasnya. Hanya beda selera, antara drakor dan film India. Pantas saja kemarin Ruri melihat gelang ala India di tangan Wida. Tak biasanya anak itu punya aksesoris.
“Wow, seleramu sama dengan emakku.” celetuk Husna polos.
Hari ini aku seneng banget. Nurul mau salim dan nggak pegang aku lagi menjelang masuk kelas. Tak ada drama, tak ada tangis, dan dia langsung berbaur bersama teman-temannya di kelas. Tinggal satu peer lagi, mengajarinya untuk diantar sampai gerbang sekolah.
Gurunya bilang selama belajar dia terlihat senang, mau mengikuti semua instruksi guru. Karena ada aku di sana makanya dia agak manja, kalau aku nggak ada, dia mandiri seperti anak lain.
Tapi pengakuan Nurul, karena dia harus selalu didampingi orang dewasa, dia sering merasa cemas saat ditinggal sebentar saja. Pernah Bu Guru ke kamar mandi sebentar, Nurul hanya bersama teman-temannya sekitar 20-an anak. Dia langsung menangis ketakutan. Katanya ada Guru lain yang menghapus air matanya, tapi dia maunya hanya wali kelasnya. Duh, nak..
Semua butuh proses kan? Kemajuan sekecil apapun harus disyukuri. Seperti hari ini. Setelah mengantar Nurul, aku sarapan dan mencuci baju. Berselancar di dunia maya sekejap, nanti jam 10.45 ke sekolah lagi menjemput Nurul. Senangnya kalau anak sudah sekolah, kita tidak selalu dibuntuti kemana pergi. Sudah bisa me time (sedikit-sedikit), bisa bikin bros dll untuk dijual, bisa nulis, bisa ini bisa itu.
Dulu Nurul sempat belajar di PAUD, tapi setiap hari harus ditemani. Kebayang kan,emak rempong ini terpaksa duduk nongkrongin sampai pelajaran selesai? Aku nggak tega lihat dia nangis-nangis. Daripada jadi masalah, ya sudah, aku tungguin setiap hari. Aku bawa bekal untuk membunuh waktu. Buku bacaan, ebook, atau unduh perpustakaan digital dengan beragam buku. Lain waktu (kalau rajin) aku juga menulis sedikit cerpen. Tapi suasana yang tidak tenang bikin aku nggak konsen.
Tanggal 9 Juli 2018 Nurul mulai masuk TK. Aku nggak mau dong, jadi “ibu penunggu” lagi. Dulu kupikir kalau anak sudah sekolah, aku bisa me time. Ternyata di minggu pertama dia berulah. Takut, malu dsb yang bikin aku harus menahan jengkel menemaninya di kelas. Ada rasa iri melihat orangtua yang sudah bisa melambaikan tangan pada anaknya tanpa diiringi tangisan. Duh,kapan ya aku seperti itu?
Pesan gurunya sih, kita harus tega. Iya awalnya pasti menangis. Tapi nanti dia akan mandiri. Ok, aku kuatkan diri. Aku ikhlaskan Nurul dan yakin kalau dia bisa. Dia mulai melambaikan tangan dan tersenyum memasuki gerbang sekolahnya. Takjub! Aku sama sekali nggak nyangka. Aku tetap tungguin, menunggu kalau-kalau dia nangis.
Dan benar saudara-saudara, saat anak-anak senam, ada lengkingan tangis yang sangat kukenal. Duh nak, rasanya pengen masuk meluk kamu. Tapi temanku bilang, biarkan saja dia belajar menyelesaikan masalah. Dia harus berani melawan takutnya. Akhirnya aku cuma sembunyi di balik pohon sambil dengerin nyanyian Nurul yang lumayan lama. Tapi hari itu dia berhasil.
Ternyata keberhasilan itu berujung trauma. Keesokan harinya, Nurul mogok masuk. Dia takut aku tinggal. Terpaksa mulai dari nol lagi, aku temani dalam kelas. Dan setiap aku lepasin genggaman tangannya, Nurul nangis. Drama semakin berlanjut, Nurul demam dan istirahat 4 hari.Di minggu ke tiga, balik lagi kaya anak baru. Padahal kata gurunya setiap ditinggal dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Malah di rumah sering nyanyi sendiri, nyanyian yang diajarkan gurunya.
Baiklah, abaikan soal rasa takutnya. Kalau begini terus, sebentar lagi dia masuk SD. Tak mungkin aku temani lagi. Berbagai sugesti kuucapkan untuk membuatnya berani. Mulai dari membujuk beli mainan, ajak jalan-jalan, dsb. Di rumah dia terlihat yakin, tapi sampai disekolah layu lagi. Belum banyak perubahan, semoga seiring berjalannya waktu, Nurulku bisa jadi anak berani. Amiiin…
Menyambung puzzle ingatan workshop Tere Liye kemarin. Kesimpulan dasar dari semua penjabarannya hanya satu. Yaitu terus latihan menulis. Tere Liye sama sekali tidak menyinggung soal halangan dalam menulis, misalnya waktu yang sempit untuk menulis, tidak tersedia sarana seperti laptop dll. Dia menceritakan kisah masa kecilnya yang hidup dalam keterbatasan. Di kampungnya sangat terpencil, anak-anak biasa mendengarkan dongeng. Kebiasaan itu salah satu yang memotivasinya untuk bisa jadi penulis.
Malah anak jaman now lebih sering menulis dari anak jadul. Lihat saja di akun sosial media. Berapa kali remaja membuat status, komentar, sharing dan membaca lewat internet. Harusnya tulisan-tulisan itu bisa lebih terarah dan jadi sebuah buku, daripada membuat sepotong kalimat yang kadang tidak ada artinya. Malah kebanyakan sosial media dijadikan alat untuk saling mencela, sayang sekali, kan?
Penerbit Republika mengadakan workshop kepenulisan bersama Tere Liye di kampus se Indonesia. Workshop ini gratis. Khusus Sumatera Barat, workshop diadakan di kampus STIKES Fort De Kock Bukittinggi. Cuma 20 menit dari rumahku. Langsung daftar dong, gratis ini. #ups.
Sampai di lokasi, nggak nunggu terlalu lama Tere Liye datang. Penampilannya sederhana, casual ditambah topi kupluk di kepalanya. Begitu TL muncul, hampir semua peserta teriak histeris, jepret-jepret, termasuk aku. *tunjuk hidung. TL taroh ranselnya, tanpa salam langsung ngomong “Saya di sini bukan kapasitas sebagai selebritis ya. Jadi yang rekam-rekam tolong menjauh dari radius 5 meter. Tidak ada foto bersama saya, kalian ke sini mau belajar apa mau foto-foto?”
Nggak pakai basa basi, semua peserta disuruh keluarkan kertas, catet tips menulis darinya. Hanya 5 poin penting, tapi penjabarannya panjaaaang banget.
Aku suka jahit. Baju, dompet pensil, tas sekolah anak, jepit rambut dan lain-lain. Berawal kecebur di grup bros, karena salah satu member Tailor Indonesia mengunggah foto bros. Aku naksir, dan mulai gugling mencari komunitas pembuat bros. Yeay! Ketemu.
Berawal dari iseng-iseng, aku belajar membuat bros dengan panduan youtube. Ternyata asyik juga, walau hasil perdanaku banyak berantakan. Namanya juga baru belajar. Tapi aku terus mencoba. Produk gagalku jadi mainan anak. Lumayan, bajet beli mainan jadi berkurang. Lanjutkan membaca “Menulis Dan Menjahit.”
Aku dan Wawat membuat sebuah proyek menulis buku anak. Aku menulis cerita, dia ilustratornya. Berawal dari ketidaksengajaan, cuma obrolah bercanda di grup. “Wat, kita bikin proyek, yuk?” kebetulan waktu itu deadline lomba tinggal seminggu lagi. Tak disangka, Wawat mengiyakan. jadilah seminggu kita berdua mata panda begadang menyelesaikan naskah. Waktu itu tak ada harapan sebagai pemenang, minimal bisa menyingkirkan rasa malas nulis yang menghinggapi sejak 2017 ini.
Alhamdulillah, proyek buru-buru itu ternyata menarik hati juri. Kami masuk dalam 15 pemenang penulis cerita anak dari Balai Bahasa Sumatera Barat. Seneng dong, apalagi kisah proyek pertama itu lanjut untuk menulis lomba berikutnya dari Badan Bahasa tingkat Nasional. Sayangnya, naskah kita mentok dan tidak lolos sebagai pemenang. Kecewa pasti, tapi tak ada yang sia-sia. Siapa tahu jodohnya ada di penerbit. (Saat tulisan ini dibuat, naskah itu sedang mempercantik diri sebelum dioper ke penerbit.) Lanjutkan membaca “Latepost : Penghargaan dari Balai Bahasa Sumatera Barat”
Rezeki memang tak terduga. Sudah lama aku ingin jalan-jalan. Walau udah nabung buat tiket dan penginapan, tapi ga nyampe-nyampe karena harus berangkat bertiga. 😦 Akhirnya pasrah aja, walau keinginan keluar pulau Sumatera tetap di dalam hati. Mungkin ini yang dinamakan afirmasi, cukup simpan keinginan, lalu semuanya urusan Tuhan. Lewat seleksi penulis yang diadakan salah satu grup penulis cerita anak, aku lolos bersama dua penulis lain dari Sumatera Barat. Seneng dong, dapat tiket pesawat gratis, penginapan mewah dan niatku sejenak keluar dari rutinitas kesampaian.
Tapi aku malah galau. Bagaimana cara meninggalkan Nurul, sehari-hari dia cuma pernah berpisah selama 3-4 jam? Pasti dia bingung dengan perubahan mendadak ditinggal 3 hari. Sekejap angan ke pulau jawa terlihat tak menarik lagi. Syukurlah keluargaku terus mendukung, aku harus berangkat. Kalau Nurul ikut, malah bikin masalah karena dia tak akan mau ditinggal olehku.
Aku mulai mempersiapkan segalanya. Membeli madunya yang mulai habis, menyiapkan obat demam sambil terus berdoa semoga tak terpakai, mewanti-wanti seisi rumah tentang kebiasaan Nurul. Apa yang boleh dan tidak boleh. Repot dan capek, tapi aku harus bisa.
Pelan-pelan aku mulai kasih kode kalau dia harus mandiri. Aku bilang mau ke Jakarta, meski dia tak tahu Jakarta itu dimana. Dia cuma tahu jauuuh sekali. Dia nggak mau ikut, maunya di rumah aja nungguin aku sama Qisthi. #jleb. Dia kira aku pergi pagi pulang sore kali ya.
Saat travel mulai menjemput, Nurul malah bangun kepagian dan ingin bermain denganku. Duh, sinar harapan di mata itu bikin aku galau. Tapi aku harus tegas, kugendong dan kucium dia, kusuruh bermain dengan Qisthi. Saat mereka mulai bermain, aku mengendap keluar membawa koper dan tas. Tak mungkin aku kuat harus dadah-dadah naik mobil diiringi tangisannya.
Di travel, baru deh aku berkaca-kaca. Rasanya pengen balik lagi, nggak mau ke Jakarta. Untung saja masih ada pikiran waras, bukankah kepergian ini yang kuinginkan? Ini cuma 3 hari, plis jangan lebay. Dengan separo hati tertinggal di Bukittinggi, aku matapkan harus fokus ke Jakarta dulu.
Sampai di Bandara, Maya dan Eci sudah masuk duluan. Mereka menungguku. Lalu kami berkenalan sambil menunggu keberangkatan. Kebangetan kan ya, sesama penulis Sumbar belum pernah ketemu sama sekali. Yaah… begitulah aku. Jarang banget bisa jalan-jalan. Lanjutkan membaca “Late post : Bimtek Kemendikbud Bekasi”
Sebelah ovariumku sudah diangkat sewaktu gadis dulu, akibat kista yang bersarang dan pecah di dalam. Sebelah lagi, bisa diselamatkan dengan menyedot cairan kistanya. Aku beruntung masih bisa membuka mata pasca operasi. Karena kupikir aku akan bangun di liang kubur. Tapi kehidupan apa yang bisa dihadapi setelah kehilangan sebelah organ penting bagi wanita? Tim dokter menyarankan segera menikah, karena ada kemungkinan kistanya tumbuh lagi. Setelah punya satu atau dua anak, jika mereka kembali mengganas, jalan terakhir pastilah membuang lagi. Secara fisik tetap wanita, namun tak bisa lagi bereproduksi.
Setelah melewati masa-masa sulit, aku mulai membuka diri. Mensyukuri sebelah ovarium yang sehat, 50% kemungkinan bisa hamil saat aku menikah nanti. Seorang lelaki berbudi mau menerimaku, menyatakan keinginan bersamaku, tetap berdua sampai tua atau kalau beruntung, memiliki bayi yang lucu. Lanjutkan membaca “BUKAN SOAL PROBABILITAS, INI REZEKI”