Pagi ini Bu Rapi bangun dengan malas. Tak biasanya, karena Bu Rapi terlihat sedikit bosan. Setelah membuka jendela lebar-lebar, ia masuk dapur. Ia menyiapkan bekal, dan memasukkannya ke kotak bekal dua anaknya. Lalu menghidangkan sarapan untuk Pak Rajin, Riang dan Gembira.
“Jangan nonton drakor lagi. Kalian tahu berapa waktu yang terbuang sia-sia untuk sesuatu yang tak ada manfaatnya?” Wida menegakkan kacamatanya yang melorot.
“Belum lagi uang yang kalian habiskan untuk memburu pernak-pernik di mall. Nggak sayang menguras tabungan untuk itu?” Wida menaikkan alis, lalu menghela napas berat sambil menggeleng-geleng.
Irra dan Husna hanya saling memandang sambil melirik Wida yang terus berceramah tentang efektifitas waktu. Ruri dan Kalya manggut-manggut. Tak tega membiarkan Wida yang mulai ditinggalkan teman sekelas satu persatu. Banyak yang memandang sinis pada Wida, tapi Wida terus ceramah seperti sedang kampanye. Di matanya drakor itu suatu kesalahan, dan harus ditinggalkan agar semua kembali normal. Tak sekali dua kali Bu Nurul mendapati muridnya yang ketiduran di kelas. Alasan apalagi kalau bukan begadang nonton drakor?
Semua menggilai drakor, Ruri selalu membawa hard disk untuk dibagikan ke teman sekelas. Hanya Wida yang tak tertarik. Hanya Wida yang tidak ngantuk di kelas. Walau nilainya tetap pas-pasan, tapi dia bangga bisa bersikap teguh, tak goyah dengan trend yang sedang berlangsung. Menurutnya, trend akan terus berganti, kita tak perlu harus mengikuti semuanya.
Wida tak pernah heboh dengan model baju ala Korea, atau segala menu Korea, atau kosmetik yang sedang booming di kelasnya. Dia bangga tetap memakai pakaian serba batik, menu tradisional dan kosmetik alami. Segala yang ditawarkan teman-teman selalu dia tolak. Alasan utama, tentu saja mahal. Wida si bendahara kelas, yang kelakuannya persis Paman Gober. Sekeping uang seribuan tak pernah luput dari perhatiannya. Makanya Bu Nurul mempercayakan keuangan kelas padanya.
***
“Aku ngantuk.” Keluh Kalya.
“Habis nonton drakor sih…” sahut Wida tenang.
“Setrikaanku banyak, ibu gosok lagi pulang kampung.” balas Kalya sambil melotot. Wida cengengesan, dia melanjutkan membaca novelnya.
Irra demam, sudah dua hari.
“Pasti karena drakor.” omel Wida.
Ruri, Husna dan Kalya memandang tajam pada Wida. Wida gelagapan, berusaha membuat senyum manis yang terlihat aneh.
“Kenapa sih, kamu nyalahin drakor mulu. Kalau nggak suka, ya diam.” sentak Kalya.
Wida tersenyum kecut.
***
Wida menghapus ingusnya yang menetes sejak pagi tadi dengan tisu. Sudah berulang kali dia bersin. Kalau saja sekarang tak ada ulangan, mungkin Wida lebih memilih meringkuk dalam selimutnya yang hangat.
“Kamu habis nonton drakor?” tanya Ruri heran. Tak biasanya Wida kurang fit seperti ini.
Wida menggeleng sambil terus bersin-bersin.
Irra lewat di meja Wida. “Hai, gimana film yang aku kasih kemarin? Kamu suka?” tanya Irra dengan wajah ceria.
Kening Ruri berkerut. “Drakor?” tanyanya tanpa suara.
“Bukan, India.” jawab Irra kencang.
Kompak Ruri, Husna dan Kalya membelalakkan mata. Wida yang selama ini ceramah soal efektifitas waktu dan uang, ternyata juga melakukan hal yang tak jauh berbeda dengan teman sekelasnya. Hanya beda selera, antara drakor dan film India. Pantas saja kemarin Ruri melihat gelang ala India di tangan Wida. Tak biasanya anak itu punya aksesoris.
“Wow, seleramu sama dengan emakku.” celetuk Husna polos.
Aku suka jahit. Baju, dompet pensil, tas sekolah anak, jepit rambut dan lain-lain. Berawal kecebur di grup bros, karena salah satu member Tailor Indonesia mengunggah foto bros. Aku naksir, dan mulai gugling mencari komunitas pembuat bros. Yeay! Ketemu.
Berawal dari iseng-iseng, aku belajar membuat bros dengan panduan youtube. Ternyata asyik juga, walau hasil perdanaku banyak berantakan. Namanya juga baru belajar. Tapi aku terus mencoba. Produk gagalku jadi mainan anak. Lumayan, bajet beli mainan jadi berkurang. Lanjutkan membaca “Menulis Dan Menjahit.”
Hobby menjahit membuat hoki bagi saya. Sudah 4 cerpen berhasil dimuat di Bobo bertema jahitan. Dan cerpen kali ini, cerpen hasil kelas Kurcaci Pos dengan Mas Bambang Irwanto. Masih ingat bagaimana betenya saya masuk kelas itu, banyak salah melulu. Sempat ngambek sama sang guru hehe. Akhirnya saya sadar, kalau yang disampaikan guru itu benar, cuma sayanya aja yang belum bisa terima. Setelah naskah diendapkan, dan mengikuti saran, tuh kan… Akhirnya cerpennya jadi dan semakin cantik. 😀
Ilustrasinya cantik ya.
KADO ISTIMEWA UNTUK SILVI
Oleh : Novia Erwida
Silvi menatap iri pada Salma. Lagi-lagi, Salma memakai baju baru. Kali ini Salma memakai terusan ungu dengan hiasan payet di sekeliling leher. Juga ada bunga-bunga besar yang menjuntai di sisi bawah gaun. Cantik sekali.
Salma pamer baju baru terus di setiap acara ulang tahun, batin Silvi
“Waaah…! Putri kerajaan sudah datang.” Goda Merry yang sedang berulang tahun.
Salma menyunggingkan senyum, menyalami Merry dan menyerahkan kadonya. “Selamat ulang tahun…”
Teman-teman tertawa. Hanya Silvi yang diam saja. Bagi Silvi, Salma adalah anak yang suka pamer. Salma tidak menghargai teman-teman yang tidak bisa membeli baju baru seperti Silvi. Silvi memandang baju hijaunya. Ada sedikit robek di lengannya, tapi ibu sudah menisiknya.
Silvi pernah minta dibelikan baju yang baru. Ibu bilang belum punya uang. Jadi, di setiap acara ulang tahun, Silvi selalu memakai gaun hijaunya.
Silvi menghidari berdekatan dengan Salma. Dia tak mau bajunya tenggelam oleh gemerlap gaun Salma.
“Ini buatmu.” Salma mengambilkan sepotong cake cokelat buat Silvi.
“Terima kasih.” Jawab Silvi jawab Silvi tanpa senyum. Salma hanya heran melihat Silvi yang tidak ramah.
***
Ada undangan ulang tahun dari Mia. Silvi membolak-balik undangan itu. Dia ragu untuk datang. Ibu masih belum membelikan gaun baru. Baju yang ada di lemari, cuma kaos dan celana jeans. Tidak pantas dipakai untuk acara ulang tahun.
“Bu, kalau Mia tanya, bilang Silvi sakit ya.” Kata Silvi pada Ibunya.
“Lho? Kok Silvi menyuruh Ibu bohong?” sela Ibu.
Silvi menggigit bibir. Dia tak sanggup melihat Salma memakai gaun baru lagi. Silvi akan semakin benci dengan gaun hijaunya.
“Silvi, kan, enggak punya baju.” Jawabnya pelan.
“Yang hijau, kan, bagus? Kasihan Mia kalau kamu tidak datang.” Bujuk Ibu.
Sepertinya Silvi tetap harus berangkat ke acara itu. Ibu tak mau berbohong.
Silvi masuk ke kamarnya, lalu membuka lemari. Ada gaun ungu kak Sarah, masih bagus tapi kebesaran buat Silvi. Silvi mencobanya dan mematut-matut diri di depan cermin.
Bahu gaun itu jatuh sampai ke lengan. Bagian badannya kedodoran. Bagian bawah gaun, panjang sampai menyapu lantai. Tampak sekali kalau Silvi memakai gaun pinjaman. Mungkin beberapa tahun lagi, barulah gaun itu pas dipakai Silvi.
Silvi meneteskan air mata. Tak ada pilihan lain. Sekarang dia harus berangkat. Disambarnya gaun hijau dan berdandan sekedarnya. Tak lupa memakai bando berwarna emas. Pemberian Ibu sebulan yang lalu.
Silvi belajar menerima keadaan. Ia tak mau mengeluh. Kalau Ibu punya uang, pasti ia dibelikan baju baru. Sejak Ayah meninggal, Ibu menerima pesanan kue. Hasil penjualan kue Ibu tidak seberapa. Sejah subuh, Ibu selalu menyusun kue-kue dalam baki plastik untuk diantar ke warung-warung. Kadang Silvi dan Kak Sarah ikut membantu mengantarkan kue.
Silvi memasuki rumah Mia, matanya mencari-cari sosok Salma. Benar tebakan Silvi. Kali ini Salma memakai gaun pink yang lembut. Roknya mekar seperti putri raja. Gaun yang cantik, tidak seperti… Ah, Silvi kembali menyesali gaun hijaunya.
Ulang tahun Mia meriah. Ada games meletuskan balon dengan perintah lucu bagi yang terkena hukuman. Silvi menikmati permainan, sampai lupa soal gaunnya.
Tiba-tiba Mia bersorak. “Minggu depan kita pesta di rumah Silvi!”
“Asiiiik…” teman-teman yang lain bertepuk tangan meriah. Silvi tersenyum kecut. Minggu depan memang ulang tahunnya, tapi Silvi tak mungkin mengadakan pesta. Ibu tak punya uang untuk itu.
“Bajumu bagus sekali. Aku malu di dekatmu.” Kata Silvi berbisik.
Salma tersenyum. “Ibuku tukang jahit, Sil. Baju ini dibuat dari kain sisa yang masih bisa dipakai. Pelanggan Ibu biasanya memberikan kain sisa baju mereka.” Jawab Salma.
Kening Silvi berkerut.
“Coba lihat, bagian atas dan bawah kainnya berbeda kan?”
Silvi memperhatikan. Benar. Hanya warnanya saja yang senada. Pasti Ibu Salma bekerja keras menjahit gaun itu sampai cantik begitu.
“Ibumu hebat.” Kata Silvi jujur.
Salma tersenyum. “Ibumu juga hebat. Aku suka kue buatan ibumu.” Jawab Salma.
Silvi tercenung mendengarnya.
Seminggu kemudian, Salma datang ke rumah Silvi membawa kado. Silvi kaget sekaligus senang.
“Aku tidak mengadakan pesta.” Kata Silvi.
“Aku tahu. Tapi bukalah kado ini.” Jawab Salma.
Jemari Silvi bergerak cepat karena penasaran. Setelah kado terbuka, Silvi terbelalak. Ada gaun baru berwarna biru.
“Terima kasih…” Silvi memeluk Salma. Silvi tahu ini berasal dari kain sisa. Tapi tak ada yang tahu selain Silvi, Salma dan Ibu Salma.
Silvi langsung memakai gaun itu. Pas dan tidak longgar seperti gaun Kak Sarah. Silvi berputar-putar. Hatinya sangat senang. Salma juga senang, dia sudah memberi kado yang dibutuhkan Silvi.
Silvi menarik tangan Salma ke meja makan. “Ibumu pintar menjahit, Ibuku pintar bikin kue. Ayo coba.” Kata Silvi sambil menyerahkan sepiring black forest pada Salma. Hanya kue itu sebagai simbol perayaan ulang tahun Silvi.
Salma mencolek krim, dan mengoleskan ke hidung Silvi. Silvi membalas. Hidung Salma berlepotan krim. Mereka tertawa bersama.
Namanya Kiara. Gadis berumur sepuluh tahun itu dititipkan tante Rani selama seminggu di rumahku. Sebagai anak tunggal, aku sangat senang bisa punya adik walau cuma seminggu. Kehadirannya lumayan menghapus galauku karena baru diputus Galang.
Sore itu Kiara sudah wangi memakai baju santaidan membawa kameranya di leher.
“Kak Adya, kita jalan-jalan ke taman bunga, yuk?” ajaknya.
Aku mengangguk. “Oke.” Jawabku. Aku selalu siap menjadi kakak yang baik buatnya.
Sepanjang jalan, dia memegang tanganku. Sesekali mengayun-ayunkannya. Sedikit menyadarkanku dari lamunan tentang Galang. Matanya berkerling jenaka. “Kakak ngelamun ya?” godanya. Aku balas dengan memajukan bibir.
Saat kami melewati penjual balon, aku menawarkan satu balon buat Kiara.
“Ih… Kakak. Emang Kiara anak TK?” gerutunya.
Aku menepuk dahi. Aku masih berpikir kalau Kiara adalah Tiara, sepupu Galang yang berumur 5 tahun, yang sering kubelikan balon.
“Ups… Sori. Kirain kamu suka.” Jawabku ngeles.
Kami sampai di taman bunga. Hamparan bunga warna warni memanjakan mata. Langsung aku mewanti-wanti Kiara.
“Ambil gambarnya hati-hati, jangan sampai terinjak bunganya. Jangan selfie sambil tiduran. Kalau mau tiduran di rumah aja.” Jelasku panjang lebar.
Kiara melongo memandangku.
“Kak, mau dikasi gambar yang cakep gak?” tanyanya sambil mencolek lenganku.
Aku mengangguk cepat, lalu bergaya minta difoto.
“Foto cakep, kak. Bukan foto kakak.” Ralatnya.
Aduh, anak ini iseng banget.
Kiara berlari mengambil foto di pinggir hamparan bunga. “Yihaaa… Berasa di surgaaaa…” serunya.
Aku duduk di bangku kayu sambil memandang awan. Ada bayangan Galang di situ. Kenapa sih, dia ngikutin aku terus? Ternyata aku masih gagal move on.
Kubuka tasku. Ada komik yang belum selesai kubaca. Biarlah aku membunuh waktu dengan komikku. Kubuka halaman pertama komik. Ada tulisan Galang di sana. Komik ini pemberian Galang. Aku urung membacanya. Kuraih gadget, dan aku membuka sosial media.
Tanganku tak bisa kucegah membuka akun Galang. Semakin aku kepo, semakin aku sakit. Galang sedang online. Kutahan diri untuk tidak menyapanya duluan. Status terbarunya, berpacaran dengan…. Uh! Aku meledak. Aku harus segera move on. Akhirnya kumatikan gadget dan menyusul Kiara.
“Lihat fotonya dooong…” aku mendekati Kiara.
Wajah Kiara sumringah. Dia seperti habis menemukan harta karun.
“Cakep kaaak…” katanya sambil memperlihatkan hasil gambarnya.
Aku memencet tombol kamera dan melongo. Tak ada amarilis di sana. Tak ada mawar. Tak ada daisy. Tak satupun gambar bunga yang diambil.
“Mana bunganya?” tanyaku.
“Lho? Emang tadi aku bilang mau foto bunga? Kan aku suka motret serangga. Ada koleksi foto semut, kumbang, belalang, kupu-kupu, capung dan….”
Alisku terangkat. Ingin tahu kelanjutan kalimatnya.
“Kak Adya.” Serunya kencang.
“Aku? Serangga?” kukejar dia yang tertawa cekikikan.
Naskah ini punya cerita panjang menjelang pemuatan. Awalnya saya menulis ini sebagai salah satu syarat ikut kelas cerpen gratis Mas Bambang Irwanto, tapi ditolak. Hiks… Lalu saya coba peruntungan naskah ini ke koran lokal. Lama tak ada kabar, dan artinya ditolak lagi. Hiks 2x. Akhirnya sayang naskah terbuang percuma, saya kirim ke Bobo tanpa harapan dimuat. Cuma buat memenuhi amplop saja, biar rada berat dikit hehe. Saya gabung dengan beberapa naskah, yang ini kalau nggak dimuat juga pasrah.
Tapi siapa sangka, justru di Bobo jodohnya. Jadi, tak usah sedih kalau cerpenmu ditolak di media lokal, karena mungkin saja dimuat di media nasional. 😀
Bobo, 24 Maret 2016
PERCA KAIN WIWI
Oleh : Novia Erwida
Wiwi menghampiri Kak Alia di balik mesin jahit. Kak Alia sibuk sekali. Sampai tidak memperhatikan Wiwi yang serius mengamatinya. Kakinya menekan pedal mesin jahit, tangannya bergerak maju mundur. Lalu menggunting benang. Menjahit lagi. Berhenti lagi. Menjahit lagi. Terus begitu.
Suara mesin jahit keras. Tapi buat Kak Alia itu sudah biasa. Kak Alia adalah tetangga Wiwi. Pekerjaannya tukang jahit.
“Kak..” sapa Wiwi dengan suara yang sedikit keras. Deru mesin jahit sedikit mengganggu , kalau mau bicara, Wiwi harus agak berteriak.
Kak Alia menghentikan jahitannya. “Kenapa Wi??” tanya Kak Alia.
Wiwi takut-takut. Matanya melirik kain perca yang menumpuk di sudut ruangan.
“Boleh minta itu, Kak?” tanya Wiwi. Kak Alia mengikuti arah tatapan mata Wiwi.
“Ooo.. Mau kain perca? Wiwi pulang dulu ya. Besok ke sini lagi. Kakak masih banyak jahitan. Biar nanti Kakak pilihkan beberapa buat Wiwi. Kain itu masih ada yang bisa dipakai.” jawab Kak Alia.
“Makasih Kak..” Wiwi sangat senang. Dia segera pamit dan berlari menuju rumahnya. Terdengar Ibu memanggil, menyuruh Wiwi mandi sore.
Keesokan harinya, penuh semangat Wiwi mampir ke rumah Kak Alia. Sambil mengantarkan gorengan buatan Ibu. Ibu sering menitip makanan buat Kak Alia. Karena Kak Alia hanya tinggal berdua dengan neneknya. Kak Alia sibuk dengan jahitan, neneknya sudah tua. Sering sakit. Kadang Kak Alia tak sempat masak.
“Kak Alia..” sapa Wiwi.
Terdengar bunyi mesin jahit. Kak Alia tidak mendengar salam Wiwi. Wiwi langsung masuk ke tempat Kak Alia menjahit.
“Kak, ini gorengan titipan Ibu.” kata Wiwi sambil menyodorkan piring berisi pisang goreng yang masih panas.
“Waaah.. Dapat rezeki.” Kak Alia senang sekali. Dia sepertinya lapar. Langsung digigitnya gorengan itu. Setelah itu Kak Alia mengantar gorengan ke kamar neneknya. Kak Alia menyuapkan neneknya beberapa potong gorengan. Nenek sedang tidak enak badan.
Tak lama Kak Alia keluar sambil membawa kantong plastik. “Ini buat kamu.” kata Kak Alia. Wiwi melongok isi bungkusan itu. Kain perca. Mata Wiwi berbinar.
“Makasih, Kak! Wiwi pulang, ya. Mau bikin sesuatu dengan kain ini.” Ujar Wiwi bersemangat.
“Boleh.. Sampaikan terima kasih, ya, ke Ibu buat makanannya…” kata Kak Alia.
“Yup, Kak.. Sama-sama.” Jawab Wiwi.
Sampai di rumah, Wiwi sibuk dengan kain percanya. Ia meraih bonekadan melepaskan baju bonekanya yang sudah usang. Ibu berjanji akan membantu menjahitkan baju boneka. Cukup lama Wiwi mengamati baju bonekanya. Sampai Wiwi tidak menyadari Ibu datang ke kamarnya.
“Waah.. Kainnya bagus.” puji Ibu.
Wiwi menoleh pada Ibu, tersenyum bangga. “Ini lho Bu, kain perca yang dikasih Kak Alia. Wiwi yang gunting, Ibu yang jahit ya??” kata Wiwi.
“Boleeeh…” sahut Ibu sambil tersenyum. Ibu mengajari Wiwi menggunting kain. Kainnya lumayan banyak, bisa buat 3 buah baju. Setelah pola bajunya jadi, Wiwi membereskan peralatan dan membuang sisa kain ke tong sampah.
“Lho, kok dibuang?” tanya Ibu.
“Kan, kainnya kecil-kecil. Nggak bisa dipakai lagi..” jawab Wiwi.
“Bisa kok! Sini deh.” Ibu mengambil lagi kain yang sudah dibuang itu. Ibu lalu menggunting kain kecil-kecil itu menjadi berbentuk lingkaran. Setelah itu, Ibu menjahit jelujur dengan tangan di pinggiran lingkaran itu. Lalu Ibu menarik benang, kainnya jadi berkerut-kerut dan bulat. Cantik sekali.
“Coba bikin beberapa seperti ini. Bisa jadi hiasan jepitan rambut, taplak meja, tutup televisi, asal dirangkai dengan rapi. Teman Ibu ada yang bikin tas bahkan selimut dari kain perca. Barang-barang yang masih bagus, jangan langsung dibuang ya, Wi.” kata Ibu.
Wiwi mengangguk-angguk.
“Barang-barang jelekpun, masih bisa dipakai. Contoh, baju kaos yang sudah sobek dan pudar, malu kan memakainya. Nah, bisa tuh jadi lap dapur. Atau buat membersihkan jendela. Kita bisa berhemat. Tak perlu beli kain lap. Ya kan??”
Wiwi setuju.
Ibu menjahitkan baju boneka Wiwi dengan mesin jahit. Sekarang baju bonekanya sudah jadi. Cantik sekali. Wiwi senang bisa ganti baju boneka sesukanya. Wiwi bangga dengan hasil kerja kerasnya. Baju bonekanya sudah ada 3 helai. Ia juga sudah bisa membuat sendiri hiasan rambut dan taplak meja.Wiwi gembira karena tak perlu beli lagi.
Sekarang, Wiwi tidak mau lagi asal buang barang bekas. Ternyata banyak barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan.
Tulisan ini dimuat di rubrik gado-gado, Femina No. 09 terbit 27 Februari 2016
Foto : Fans Page Femina
MOBIL ANTIK
Oleh : Novia Erwida
Ini mobil “antik”. Suami membelinya karena uang kami belum cukup untuk membeli mobil yang lebih bagus. Awalnya mobil ini milik pensiunan polisi. Walau mobil lama, tapi pak polisi itu sangat telaten merawatnya. Saat mobil ini berpindah tangan, dia menangis seolah kehilangan separuh nyawa. Suami menenangkan dan berjanji akan merawat si antik.
Awalnya aku senang mendapat mobil “baru”. Tapi saat mendengar kabar reuni, tiba-tiba aku risi melihat si antik.
“Bang, tolong jaga anak, ya. Aku mau ke kampus.” Kataku sambil menyerahkan anak. Aku ingin pergi ke acara reuni sendiri saja.
Anak langsung protes dan menangis. Gagal sudah rencanaku. Suamiku tersenyum. “Biar kita sama-sama saja. Nanti Bunda sama teman-teman, Ayah jagain anak.” Katanya, bijak.
Sungguh, saat itu aku sedang tak ingin diantar. Apalagi dengan si antik. Dia memang tidak gampang mogok, tapi tampilannya jauh dari keren. Tak tega melukai niat baik suami, aku mengiyakan.
Akhirnya… di sinilah aku. Kampus tempat aku menuntut ilmu dulu.
“Nikmati waktumu.” Kata suamiku, sambill mengajak anakku bermain. Suami memarkir mobil di luar pekarangan kampus.
Aah… Senang sekali. Akhirnya aku punya “me time”. Aku masuk gerbang, bertemu teman-teman lama dan saling berpelukan. Kangen-kangenan sambil melihat penampilan masing-masing. Rata-rata makin berisi.
“Kamu masih langsing.” Puji seorang teman.
“Tapi ini gendut.” Kataku sambil menepuk perut. Mereka tertawa.
Kami duduk di tempat nongkrong favorit, taman kampus. Ada bangku taman yang dibangun melingkar, yang muat untuk beberapa orang. Masih seperti dulu. Tak banyak yang berubah.
Sedang asyik bercanda, mobil suami masuk pekarangan kampus. Aku melihat dengan sudut mata. Ada apa ya? Apakah anakku rewel mencariku?
Ada rasa risi melihat tatapan heran teman-teman. Sebuah mobil antik yang dengan pedenya berjejer manis di antara mobil keluaran terbaru. Mereka saling pandang. Awalnya aku pura-pura tak melihat, kuhitung dalam hati. Satu… Dua… Tiga… Pintu belum terbuka.
Akhirnya kuhampiri mobil antik dengan pandangan heran teman-teman. Terserah mereka mau komentar apa. Mungkin suamiku sedang sibuk menenangkan anakku yang menangis.
Dia membuka kaca jendela dan tersenyum. Tak terjadi apa-apa. Anakku duduk manis di sampingnya sambil mendengarkan musik.
“Kenapa parkir di sini?” kataku, cemberut.
“Di sini rindang, di luar panas.” Jawabnya santai. Kutahan rasa kesalku.
Setelah puas melepas rindu bersama teman, saatnya pulang. Di perjalanan, aku lebih banyak diam. Masih kesal dengan pandangan heran teman-teman tadi. Kenapa suamiku harus memarkir mobil di dalam pekarangan kampus, sih? Bikin aku malu.
Ia bisa membaca pikiranku.
“Kanapa harus palsu?” katanya sambil tertawa kecil.
Aku manyun. Bagaimanapun, reuni adalah ajang ‘pamer’ dan saling adu kekuatan. Tak ada standar sukses selain apa yang dipakai dan apa yang sudah dimiliki. Jujur, awalnya aku mengurungkan niat untuk hadir di acara ini. Ada minder di hatiku mendengar karir sahabat-sahabat yang semakin melesat. Mobil yang mereka punya. Rumah mewah yang mereka bangun. Tapi kukuatkan diri untuk hadir dan berusaha tulus.
Anakku tertidur di pangkuanku. Kulepaskan gelang berlian palsu yang mengganggu gerak tanganku. Kuletakkan di dashboard mobil. Biasanya aku hanya memakai perhiasan minimalis, entah mengapa kali ini aku seperti toko perhiasan berjalan.
“Jadilah diri sendiri.” Suami masih ceramah di sela menyetir mobil. Dari awal kan aku sudah berniat pergi sendiri. Enggak repot begini.
“Biar mobil ini antik, tapi kita terlindung dari panas dan hujan.” Sambungnya lagi.
Duuuh… Dia masih membongkar rahasia hatiku.
Kami sampai di tempat tujuan. Aku sedikit kerepotan menggendong anak yang masih terlelap.
“Bang, tolong ambilkan gelangnya. Nanti kaca mobil dipecahkan maling.” Kataku.
“Wah… Kalau gelang ini diambil maling, dia bukannya untung, malah ngamuk.” Jawab suamiku.
Kami tertawa bersama. Memang, kita tidak perlu ‘memalsukan’ diri, lebih bahagia jadinya.
Waktu aku dapat info dari Mbak Irra Fachriyanti bahwa cerpen ini dimuat, rasanya seperti mimpi. Karena sempat pesimis melihat cerpen-cerpen cantik yang dimuat di beberapa edisi sebelumnya. Cerpen ini hasil kelas Grup Penulis Tangguh, dan banyak kritik yang disampaikan teman-teman. Cerpen remaja tapi kaya cerita anak-anak. Hiks… Akhirnya aku berjarak dengan naskah beberapa minggu, lalu mulai mempercantik sesuai saran teman-teman.
Tokohnya bernama Shabrina, karena aku teringat salah satu penulis di grup Be A Writer (BAW) Shabrina WS. Aku suka nama Shabrina. 😀
Cerpen ini dikirim November 2015, Alhamdulillah dimuat Januari 2016.
Dimuat di majalah Gadis, Januari 2016
DUA HATI SHABRINA
Oleh : Novia Erwida
Dua minggu lagi, di hari istimewanya, Shabrina mengajukan sebuah permintaan sederhana pada Ayah dan Bunda. Undangan makan malam di café favoritnya. Shabrina yakin, keinginannya tidak terlalu berat. Tak akan menguras kesibukan keduanya, mereka hanya perlu sedikit menggeser ego masing-masing. Mengingat Ayah Bunda super sibuk, dari jauh-jauh hari Shabrina sudah mengajukan jadwal makan malam itu.
“Kamu nggak beli gaun buat hari itu?” Tanya Bunda sambil mengoleskan selai strawberry ke roti gandumnya.
Pagi itu Bunda sudah rapi dengan stelan balzer tosca. Riasan Bunda natural, seperti biasanya. Cuma ada bros mutiara kecil di sebelah kiri blazer, tak tampak perhiasan gemerlap.
Shabrina menggeleng. “Tak perlu, Bun. Baju yang di lemari sudah terlalu banyak.” Jawab Shabrina.
“Oh…” hanya suara singkat dari bibir Bunda. Bunda menyeruput jus jeruknya. Meminum pelan-elan, dan tak berniat melanjutkan percakapan. Shabrina menatap Bunda, berusaha mengalihkan wajah Bunda dari gelas di hadapannya.
“Bunda bisa datang kan?”
Bunda menghela napas. “Bunda usahakan.” Jawabnya sambil memaksakan senyum. Shabrina melihat ada kilat ragu di mata Bunda. Shabrina sangat hapal gestur Bunda. Walau begitu, Shabrina menyunggingkan senyum cerianya, berterima kasih atas kesediaan Bunda.
Bunda mengambil tas, dan berjalan menuju halaman. Shabrina segera menghabiskan sarapannya, dan buru-buru mengikuti langkah kaki Bunda. Pagi ini Bunda ada meeting, Shabrina bisa nebeng sampai halte.
***
“Lucu kan?”Sherin memamerkan foto di gadgetnya. Sherin tak perlu mengulang kabar, kemarin Shabrina sudah melihat foto ini di sosial media. Hanya kue tart kecil, berserta sebuah lilin mungil yang menyala di sebuah ruang keluarga. Sangat sederhana. Tapi kehangatan keluarga dalam foto itu membuat hati Shabrina terusik, antara iri dan sedih. Sherin meniup lilin bersama Mama Papanya. Sementara Shabrina, harus meniup lilin bersama Bunda saja, atau bersama Ayah saja di tempat yang berbeda.
“Happy birthday ya.” Shabrina menyalami Sherin. Lalu memeluk sahabatnya.
“Makasih, Brin. Semoga dua minggu lagi impianmu terwujud.” Balas Sherin.
Shabrina mengangkat kedua tangannya, persis orang berdoa. “Amiiin…” serunya kencang.
Sherin tertawa, dan tawanya semakin riang melihat kado yang disodorkan Shabrina.
“Traktir aku di kantin.” paksa Shabrina.
***
Sudah berulang kali Shabrina melirik jam tangan. Hampir sejam dia menunggu, yang terlihat hanya orang tak dikenal lalu lalang. Matanya menatap nanar ke pintu masuk, berharap bayang-bayang Ayah dan Bunda datang berdua. Tak perlu kado mahal seperti tahun sebelumnya, cukup kehadiran di mereka café kecil ini.
Smartphonenya berdering, foto Ayah berkedip-kedip. “Maaf, Nak. Ayah sedikit terlambat.”
Shabrina meletakkan ponselnya dengan malas. Es krim favoritnya sudah mencair dari tadi. Brownies pesanannya belum tersentuh. Bunda pasti juga telat, atau tak jadi datang. Shabrina berdiri, berniat keluar saat ponselnya berdering lagi.
“Sayang, Bunda sudah di depan. Maaf ya, sedikit terlambat.”
Shabrina menduduki lagi kursinya. Dia memberi tenggang waktu untuk kedua orangtuanya sepuluh menit lagi.
Pintu café berbunyi, terlihat seorang wanita modis yang kerepotan membawa kado besar. Blazer mahalnya sedikit lecek, mungkin karena berjalan terburu-buru.
“Bunda…” Shabrina menyambut Bunda dengan pelukan.
“Selamat ulang tahun, sayang.” Kedua pipi Shabrina dikecup, lalu Bunda menyodorkan sebuah kado. Bukan kado raksasa itu yang membuat Shabrina terkejut.Tapi kehadiran seorang laki-laki muda di samping Bunda. Usianya mungkin sepantaran Om Heru, adik bungsu Bunda.
“Oh, kenalkan. Ini Om Sakti.” Kata Bunda sambil tersenyum manis.
Shabrina masih tercengang, tapi segera tersadar melihat tatapan memaksa di sudut mata Bunda. Dengan santun, Shabrina menyalami lelaki modis itu. Bau parfum mahal menguar dari tubuhnya.
“Sakti. Selamat ulang tahun, ya.” sambut Sakti sambil tersenyum. Shabrina belum mengerti arti senyuman itu. Dia berusaha mengabaikan perasaan tak nyaman di hatinya. Mata Bunda menyuruhnya tetap menjadi anak manis.
Bertiga mereka duduk melingkari meja kecil. Baru saja Shabrina ingin memesan makanan, matanya menangkap sosok wanita dengan blazer ungu membuka pintu café. Wajahnya tertutup kado. Shabrina yang masih belum bisa mengendalikan rasa terkejutnya dengan kehadiran Om Sakti, tiba-tiba dikejutkan lagi dengan kehadiran Ayah di belakang wanita itu. Mereka berjalan beriringan ke meja Shabrina.
“Halo Shabrina. Happy birthday…” tante itu langsung menyalami dan mencium Shabrina.
Shabrina kaget luar biasa, matanya menatap Ayah, meminta penjelasan.
“Kenalkan, ini tante Siska.” Jawab Ayah tenang.
Tante dengan make up tebal itu langsung memamerkan senyum paling manis. Dia melihat seolah Shabrina adalah kelinci putih yang lucu. Padahal Shabrina tak bisa menyembunyikan wajahnya yang mulai cemberut. Bersandiwara jadi anak manis dari tadi sudah cukup menyiksa.
Shabrina menyalami tante Siska, dan meminta meja yang lebih besar pada waiter. Ayah dan Bunda sudah menghadiri undangannya, tapi bukan ini yang Shabrina mau. Mejanya hanya penuh basa basi orang dewasa. Kalau tahu begini, Shabrina lebih memilih merayakan ulang tahun bersama teman-temannya saja.
Tanpa sadar Shabrina menitikkan air mata.
“Kamu kenapa, cantik?” tante Siska mendekatinya. Bunda terkejut, dan langsung mendekati Shabrina, menghalangi tante Siska.
“Shabrina mau ke toilet dulu, Bun. Maaf.” Kata Shabrina sambil setengah berlari. Bunda dan tante siska hanya melongo menatap punggung Shabrina. Gaunnya sudah mulai kusut, sedari tadi dia tak bisa duduk dengan tenang. Makanan favoritnya terasa hambar, bahkan pahit untuk ditelan. Kehadiran dua orang asing di tengah-tengah keluarga kecilnya, membuat Shabrina gerah.
Shabrina membuka pintu toilet. Dia tak tahu harus marah atau bersedih. Di depan cermin, dia tumpahkan semua sesak di hati. Biarlah airmatanya jatuh tanpa sebab yang jelas. Biarlah, asal hatinya lega. Shabrina tak peduli dandanannya yang mulai berlepotan. Shabrina hanya ingin sendiri.
Shabrina mencuci mukanya. Lalu keluar café lewat pintu belakang.
***
Shabrina tahu Ayah marah, Bunda juga marah. Tindakannya melarikan diri dari café membuat pasangan orang tuanya jadi serba salah. Dan itu berimbas pada hubungan mereka ke depan.
“Brin, tindakanmu seperti anak kecil.” tegur Ayah di ujung ponsel.
“Brin hanya ingin Ayah dan Bunda, bukan orang lain.” jawab Shabrina sambil terisak.
Terdengar helaan napas berat di seberang.
Shabrina mematikan ponsel. Dia sangat lelah, lalu menyandarkan punggungnya di dinding kelas.
“Coba kau ajak lagi mereka makan malam.” Kata Sherin.
Shabrina menggeleng. “Percuma. Ego mereka terlalu tinggi. Mereka hanya pamer pasangan dan melupakan bahwa hari itu adalah milikku, anak mereka.” Jawab Shabrina getir.
Sherin memeluk Shabrina. Dia mengerti perasaan Shabrina. Shabrina sudah seperti saudaranya, selalu curhat tentang keinginannya bersama orang tua yang lengkap.
Sherin menyodorkan kado kecil buat Shabrina, dan Shabrina menjerit senang saat membukanya. Boneka kelinci imut itu seketika menghapus mendung di wajah Shabrina.
“Sher, kamu tahu nggak, kadang aku ingin jadi boneka saja. Cukup diam tanpa punya banyak keinginan. Tapi ternyata jadi boneka juga banyak saingan, ya. Boneka baru akan selalu berdatangan, dan porsi kasih sayang untuk boneka lama akan berkurang.” Kata Shabrina sambil menggigit bibir.
Sherin menepuk pundak Shabrina “Kita tak tahu apa yang ada di pikiran orang tuamu. Berbaik sangkalah.”
***
Dua kado besar itu masih terbungkus rapi dan tergeletak begitu saja di sudut kamar.Tak ada keinginan Shabrina untuk membukanya. Bunda tak pernah menyuruh membuka kado. Walau malam itu Bunda marah, tapi Bunda tetap membawa sebuah kue dan lilin ke kamar Shabrina. Mereka merayakan ulang tahun berdua seperti tiga tahun terakhir. Shabrina tak pernah mengupload foto itu.
“Brin..” Bunda mengetuk pintu kamarnya.
Shabrina melempar novel yang dibacanya, langsung menghadap dinding pura-pura tidur. Sejak kejadian di café, Shabrina lebih banyak diam, menghindari pertengkaran dengan Bunda.
Bunda masuk, dan melihat Shabrina menghadap dinding. Feelingnya sebagai seorang ibu, langsung tahu bahwa Shabrina tidak tidur. Sejak kecil, tak ada rahasia antara Shabrina dan Bunda. Shabrina tak pandai berpura-pura.
“Nanti Ayah makan malam di sini.” Kata Bunda datar.
Shabrina membuka mata, bibirnya melengkungkan senyum. Dia segera berbalik menghadap Bunda.
Hal luar biasa mendengar Ayah dan Bunda bisa berkomunikasi selepas perpisahan mereka. Menyatukan hati yang terbelah memang sulit.
Shabrina menghampiri Bunda yang sedang menata meja makan. Ada sayur sop bakso kesukaan Ayah, ikan bakar, puding jagung dan hampir semuanya menu favorit Ayah.
“Bun, ini seperti pesta besar. Kita hanya bertiga, kan?”
Bunda mengangguk. Lalu kembali sibuk mengeluarkan piring-piring cantik dari lemari pajang. Shabrina ikut membantu Bunda menata meja. Bunda hanya mengeluarkan tiga piring makan. Shabrina lega.
Selepas Maghrib, Shabrina mendengar bunyi klakson yang sangat familiar di telinganya. Bunyi klakson yang dulu selalu disambutnya dengan menghambur ke pelukan Ayah.
“Ayah..” katanya sambil memeluk Ayah. Kejutan besar, Ayah bersedia menginjak rumah ini lagi. Sudah sangat lama, mereka hanya bertemu di cafe atau apartemen Ayah. Bunda tak pernah suka dengan kedatangan ayah. Tanpa sadar, airmata Sabrina menetes, mengenang masa kecilnya yang indah.
Ayah melepas pelukan, mengusap air mata Shabrina sambil menyunggingkan senyum. “Sudah besar, kok nangis?”
Shabrina tertawa, walau airmatanya tetap keluar, lalu memeluk Ayah sekali lagi.
Shabrina menggandeng tangan Ayah menuju meja makan. Sudah ada Bunda di sana, Bunda sedikit rikuh, mempersilakan Ayah duduk.
Ayah duduk di tempat duduknya dulu. Secangkir kopi pahit kesukaan Ayah sudah terhidang. Aroma yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, membuat Shabrina nyaris menjerit saking senangnya. Momen ini membuatnya merasa sangat dicinta. Shabrina menatap Bunda yang duduk di sisi kiri Ayah.
“Mari makan.” kata Bunda tanpa menatap Ayah.
Dua mantan sejoli itu tak pernah beradu tatap, keduanya hanya fokus pada Shabrina. Shabrina urung mengambil makanannya, dia ingin tahu reaksi Ayah.
Mata Ayah terpejam saat sendok pertama masuk ke dalam mulutnya. Rasa masakan Bunda tak pernah berubah, Ayah pasti kangen mencicipi lagi. Shabrina tersenyum kecil melihat Ayah sangat menikmati makanannya. Matanya melirik Bunda, menggoda. Dan Bunda mendelik tak suka.
Suasana mulai mencair saat Shabrina menyalakan lilin di kue ulang tahunnya. Shabrina memaksa Ayah dan Bunda duduk mengapitnya, posisi yang sama setiap dia berulang tahun. Menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama, lalu Shabrina memejamkan mata, make a wish.
“Semoga Ayah dan Bunda bersatu lagi.” Seru Shabrina, lalu dia meniup lilin.
Mendengar doa itu, tubuh Bunda kaku, sedangkan Ayah tertawa. Shabrina tak peduli pada apa yang ada dalam hati mereka. Shabrina berusaha menghormati keputusan orang tuanya, tanpa harus merasa kehilangan cinta mereka.
Malam semakin larut, Ayah harus kembali ke apartemennya. Shabrina bermanja sebelum Ayah masuk ke dalam mobil. “Terima kasih, Yah. Ini ulang tahun yang sangat hangat.”
“Sama-sama, sayang. Sampaikan pada Bunda, masakannya tak berubah.” kata Ayah sambil berbisik.
Shabrina tertawa senang, ternyata di dalam hatinya, Ayah masih menyimpan Bunda. Saat Shabrina berbalik, dia melihat Bunda bergegas masuk ke dalam. Bunda pasti mengintip di balik pintu.
Shabrina masuk ke kamarnya, membongkar sebuah album foto. Foto ulang tahunnya sejak kecil. Selalu diapit oleh Ayah dan Bunda, di depannya ada kue tart dengan lilin. Foto-foto itu berderet dan terhenti di angka lima belas.
Shabrina mencetak foto tadi, menyusunnya di halaman paling baru. Kalau dia berumur panjang, beberapa halaman kosong di album ini akan diisi foto dengan pose yang sama. Shabrina tersenyum puas.
Dimuat di GADIS, kejutan besar buatku. Soalnya sudah berkali-kali kirim naskah ke sana selalu tak ada kabar. Alhamdulillah, untuk naskah yang ini, tanggal 6 Nov 2015 dikirim, tanggal 18 dapat kabar dimuat. Mbak Irra yang heboh kasih kabar sekalian foto. Padahal aku tak lagi berharap banyak. Malah sempat berniat cuti menulis dulu. Bosan menunggu sudah dua bulan, tak ada tulisanku nggak nongol di media manapun. Setelah dimuat di NUBI hari Minggu lalu, aku mulai semangat lagi menulis. Ditambah yang ini dong, berarti aku harus lebih semangat. 😀
Dimuat di GADIS no 29, Nov 2015
COWOK DEWASA
Oleh : Novia Erwida
Nadya menangis di sudut kelas. Mita menemani walau lebih banyak bengongnya. Menurutnya, Nadya super lebay. Menangisi diputus Arul. Hanya karena dia mahasiswa saja, Nadya merasa Arul lebih hebat dari teman-temannya.
“Mungkin sebaiknya kamu punya cowok yang seumuran saja. Biar nggak dianggap anak kecil lagi. Masih banyak cowok dengan seragam putih abu-abu yang keren.”
Nadya menggeleng.
“Ke rumahku, yuk. Bete nih lihat orang nangis terus.”
Nadya ogah-ogahan. Dia masih setia dengan sapu tangannya yang sudah lembab oleh airmata dan ingus. Mita memandang jijik. Kalau begini caranya, pantas saja Arul minta putus.
Nah, kan. Nadya kurang peka? Masa harus dijelasin kalau Mita ilfil berat? Mita menemani Nadya ke toilet sekolah, takut sahabatnya minum pembersih kamar mandi yang sering ditinggal di sudut toilet. Atau meloncat dari lantai dua.
Nadya sudah selesai mencuci muka. Mita menarik tangannya dan memaksa duduk di boncengan.
“Pegangan yang erat. Masa sih, bisa kalah sama orang tua.” omel Mita.
“Dewasa!” Ralat Nadya.
Mita menstarter motor dengan sebal. Masih aja dibelain, gerutunya.
Sepanjang perjalanan, mata Nadya masih menerawang, mengingat kebersamaan dengan Arul. Yang paling Nadya suka, Arul setia mendengar curhatnya, dan menutup dengan solusi jitu. Laki-laki dewasa memang lebih keren.
Mereka sampai di pekarangan rumah Mita. Ada sebuah mobil terparkir di sana.
“Sepupuku datang.” Kata Mita dengan mata berbinar. Dia langsung memeluk Ratih, perempuan imut berwajah teduh. Nadya ikut menyalami Ratih, melupakan patah hatinya.
“Kakak kapan datang? Nginap kan?” tanya Mita.
Ratih mengangguk.
“Yeay… Silakan bersenang-senang dengan Mama. Sebentar ya, Kak. Kita ada misi rahasia.” kata Mita sambil mengedipkan mata. Mita menyeret Nadya ke kamarnya. Nadya masih harus disadarkan.
Saat melewati ruang tengah, Nadya melihat seorang cowok yang belum pernah dilihatnya. Seketika patah hatinya terhapus. Mita sempat bilang, kalau dia punya stok lelaki dewasa yang sedang jomblo. Inikah? Aih… Mita memang sahabat yang baik.
Nadya mengangguk santun pada cowok itu, dan dibalas senyuman manis. Cowok itu mengenakan kemeja biru kotak-kotak dan jeans hitam. Wajah dewasanya terlihat dari garis dagu yang tegas dan dipenuhi bulu-bulu halus. Badannya tinggi tegap.
“Geregetaaan..” jerit Nadya dalam hati.
Mita menghempaskan badannya di tempat tidur. Mengambil dua gelas air, menyodorkan salah satunya buat Mita. “Silakan lanjut curhat,” katanya sambil menguap.
“Sudah habis.” jawab Nadya santai.
“Lha? Cepet amat move on nya?” Mita bingung.
“Bisa, asal ada penggantinya.” sindir Nadya.
“Maksudmu?”
“Dulu kamu pernah bilang ada cowok dewasa yang lagi jomblo buat aku?”
Mita berusaha mengingat-ingat. Kapan dia pernah janji begitu. Tapi Mita menggeleng. “Maaf, aku lupa pernah ngomong gitu sama kamu.” katanya sambil menggaruk kepala.
“Tak usah jauh-jauh, kenalkan saja aku dengan sepupumu.” Nadya langsung tembak.
Dimuat di Nusantara Bertutur, KOMPAS, 15 November 2015
Foto Mbak Shabrina WS
DIDO INGIN BERTEMAN
Oleh : Novia Erwida
Aku tinggal di sebuah kompleks perumahan di daerah Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Pagi ini, aku sedang bermain-main di lingkungan sekitar rumahku.
“Jangan dekat-dekat Dido, nanti dia ngamuk,” kata Kak Lara, tetanggaku.
Aku yang berniat menghampirinya, jadi mundur beberapa langkah. Dido terlihat ingin bergabung bersama kami, tapi kak Lara segera melarang.
“Kemarin, dia cakar Wisnu. Kemarinnya lagi, Danis yang digigit,” lanjut Kak Lara.
Aku semakin takut pada Dido. Sejak kepindahanku ke kompleks ini, cuma Dido yang belum menjadi teman baruku. Dia hanya melihatku dan teman-teman bermain dari kejauhan sambil menggigit-gigit kuku. Tangis kerasnya terdengar saat ibunya memanggil, menyuruh pulang.
“Memangnya Dido kenapa?” tanyaku pada Kak Lara.
“Ya gitu deh,” Kak Lara tak mau menjelaskan.
Aku penasaran. Kupandangi Dido yang meraung-raung tak mau pulang, tapi ibunya tetap memaksa.
***
“Ma, kalau aku jadi teman Dido, boleh?” tanyaku pada Mama yang sedang membaca majalah di teras.
Mama tertegun sejenak, lalu menyunggingkan senyum. “Boleh asal kamu tulus berteman, tidak mengejek atau menyakitinya,” kata Mama.
Aku mengangguk, meyakinkan Mama bahwa aku akan baik-baik saja. Segera aku berlari ke luar rumah. Mampir ke warung Bu Ratna, membeli permen dan beberapa kue-kue. Semua belanjaan kutaruh dalam sebuah kantong kresek. Aku menunggu Dido di taman. Biasanya setiap sore dia selalu mengintip anak-anak bermain di balik batu besar.
Benar, dia datang. Aku menghampirinya, memberinya senyum tulus.
“Namaku Tiara,” kataku sambil menyodorkan tangan.
Dido menatapku tajam, sepertinya dia khawatir bakal dijahili.
“Aa… aa…” Dido mengucapkan terima kasih dengan caranya. Lalu dia menjabat tanganku dan membuka bungkusan kue.
Aku tersenyum melihat Dido seriang ini. Biasanya dia selalu curiga setiap ada anak yang menghampiri. Dido anak berkebutuhan khusus, tapi itu bukan alasan untuk mengejeknya. Wisnu dan Danis dicakar karena Dido tak suka diejek. Dido hanya ingin berteman, bukan di-bully seperti itu.
Kak Lara menghampiriku. Dia heran melihat Dido begitu tenang. Dido menyodorkan kue-kuenya kepada kak Lara.
“Terima kasih,” kata Kak Lara.
Dido terus memakan kuenya. Kak Lara mengacungkan jempol buatku.
“Kamu hebat,” puji Kak Lara.
Ternyata, Dido punya hati yang sama dengan anak-anak yang lain. Perbedaan bukan halangan untuk berteman dan saling menghargai.
Hikmah cerita :
Jangan pilih-pilih dalam berteman. Masing-masing dari kita mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Hari Anak Sedunia diperingati setiap 20 November. Perayaan ini bertujuan menghormati hak-hak anak di seluruh dunia, salah satunya hak mendapat pendidikan yang layak dan kasih sayang.