Tak ada kata terlambat untuk belajar. Walaupun sudah emak-emak, aku tak mau ketinggalan acara jumpa penulis Boy Candra di tobuk Sari Anggrek Bukittinggi. Pede habis bakal banyak teman di sana. Aku sudah titip Nurul ke neneknya, biar betul-betul konsentrasi belajar sharing kepenulisan. Aku bawa motor dan parkir di depan tobuk. Langsung masuk dan mengisi buku tamu dan taraaaa…. peserta abege semua hiks…
Malu malu meong aku duduk di tempat yang sudah disediakan. Duh, aku yang paling tua, nih. Larak lirik peserta. Eh nggak lama, datang ibu-ibu 40an. Wow… Takjub aku. Ternyata ibu itu masih semangat untuk ikut acara seperti ini. Nggak jadi paling tuir, dong hehe.
Acaranya agak kaku, karena moderatornya grogi luar biasa. Tau deh kenapa. Padahal peserta cuma sekitar 40 orang. Aku hanya menyimak. Ilmu yang ditularkan persis sama dengan yang kupelajari dari guru menulisku. Tak ada salahnya belajar sama anak yang lebih muda. Minimal aku ngecas semangat nulis lagi.

Penulisnya masih muda, sepantaran adik bungsuku. Dan dia baru mulai menulis tahun 2011. Sudah punya 3 buku. Sementara akuh? Hiks… Kemana saja modal menulis yang dipajang di Annida dulu? Aku tahu dimana salahku. Aku pemalas. Sementara Boy meluangkan waktu menulis 3 halaman perhari. Dan aku moody banget. Pantas aku kalah dan harus belajar lagi.
Dia menulis novel hanya dalam waktu 37 hari. Apalagi anak bujangan yang nggak punya tuntutan apa-apa. Waktunya pasti lapang. Duh… Menyesal waktu gadis kuhabiskan hanya main-main tanpa prestasi seperti ini. Tapi tak ada guna sesal. Ke depannya aku rapel kekurangan masa gadis dulu. Meski sekarang tugasku bertambah sebagai ibu dan istri. Tapi aku pasti bisa.

Ada Alizar Tanjung juga sebagai EO Sari Anggrek. Ternyata orangnya ngocol abis. Baru kali ini aku ketemu dia. Ramah dan langsung dikerubungi gadis-gadis. Emak-emak macam aku tahu diri, melipir dan dia tersenyum ramah. Wah asyik juga anaknya. Jadi orang terkenal harus begitu, ya. Ramah. *Siap-siap jadi terkenal.

Aku beli buku Boy Candra dengan judul Catatan Pendek Untuk Cinta Yang Panjang, dan aku langsung terpesona dengan angkaian kata-kata manisnya. Ternyata dia specialis roman atau penulis galau hehe. Satu pesan Boy, menulis harus ada identitas. Galau, roman, humor, horor dan sebagainya.
Menulis itu tiangnya di niat. Dari sekian banyak pertanyaan peserta, aku menyimpulkan mereka masih banyak bertanya dan kurang bertindak. Jadi ingat kata Guntur Alam, “Menulislah, jangan banyak bertanya. Kalau bertanya terus, kapan selesai naskahmu?”
Dan kebanyakan pertanyaan adalah persoalan menghandle waktu pribadi. Mengkambing putihkan kuliah dsb. Karena aku sudah belajar sama mbak Nur dan mas Bambang, aku lebih memilih diam. Mendengarkan curhat abege soal rasa dan cara mengungkapkannya. Jiaaaah…

Satu yang unik dari Boy Candra, dia kalau libur menulis, akan merapel tulisannya dan menghukum diri tidak makan sebelum tulisannya kelar. Dan katanya, semakin lapar, semakin inspiratif. Halaaah…. Kalau aku nulis dan perut keruyukan, aku pilih lari ke dapur dan lupa nulis. *Eh
Hm… Apa lagi ya? Kebanyakan sudah kupelajari sih. Tapi karena pengajarnya muda, suasananya beda juga. Makin semangat. Boy menyarankan banyaklah menulis. Memelihara rasa seperti tips mbak Nur. Tulis di kertas atau di hape yang jadi idemu. Atau dia akan menguap begitu saja. Dan targetkan menyerahkan naskah pada penerbit dengan memperhatikan genre mereka. Ibarat memberi kado, berilah yang paling dia suka. Persis tips mas Bambang.
Jadi, tips menulis sepertinya itu-itu saja ya? Penulis adalah menulis, bukan hanya rajin mengikuti seminar kepenulisan. Nanti dalam proses kreatif akan bertemu benturan-benturan yang membuat kita semakin lihai. Menulis seperti menjahit, kalau dilakukan terus menerus, jahitannya akan semakin halus.
Nah, aku penjahit. Matching dong? 😀
Jadi dirimu penulis atau penjahit?
Dua-duanya, mba ade 😀
Ga bisa juga nulis pas lapar, kecuali nulis postingan blog tentangmakanan. Hehehe…
Yanti sering posting makanan, bikin ngiler 😀